Selasa, 21 April 2015

ULAN MERINDU
Karya : Hanif Artafani Biasmara


     BABAK 1
*Instrumen musik dimulai dan lampu lighting ON. Set panggung taman sederhana.
NARATOR : Senandung malam tengah bergelora. Sang rembulan pun seakan malu menyaksikan dua insan tengah memadu kasih. Bintang-bintang yang bertaburan menambah syahdu malam itu. Bahasa cinta yang membias dalam setiap lengkung senyum mereka, mengiringi malam keduanya dalam rona wajah penuh kasih. Ulan dan Andung. Sepasang kekasih yang dibedakan oleh kasta dan derajat.Usia yang telah matang dan hubungan yang telah lama terjalin, menjadikan keduanya ingin segera berlabuh dalam bahtera rumah tangga. Akan tetapi restu Ayah Ulan belum juga mereka dapatkan. Lalu akan dibawa kemanakah hubungan sejoli ini?
ANDUNG : Telah lama aku menanti kala seperti ini. Tembok restu yang telah dibangun Ayahmu, seakan menjadi sekat pemisah cinta kita berdua.
ULAN           : Aku juga merindukan kala seperti ini. Namun, hingga sekarang Ayahku tak kunjung memberikan restu atas hubungan kita berdua.
ANDUNG : Lalu sampai kapan kita harus bersembunyi di belakang Ayahmu?
ULAN : Andung, aku pun juga tak tahu sampai kapan kita akan menemukan titik terang dalam hubungan ini.
ANDUNG : Ulan apakah engkau masih ingin berjalan dalam lorong gelap ini?
ULAN : Tentu saja tidak! Siapa yang ingin berjalan dalam lorong gelap tanpa adanya penerangan?
ANDUNG : Maka dari itu Ulan, aku ingin segera meminangmu. Agar hubungan ini segera berlabuh dalam bahtera rumah tangga.
ULAN : Tapi apakah engkau telah siap menghadap ayahku?
ANDUNG : (Berdiri membelakangi ulan) Apapun rintangannya aku telah siap menghadapinya. Seberat apapun jalan yang harus kulalui, aku akan tetap kukuh pada pendirianku agar aku segera meminangmu. Walaupun nyawa jaminannya.
ULAN : (Berdiri tetapi masih ditempat) Tetapi kau tahu sendirikan bagaimana watak Ayahku.
ANDUNG : (Kembali ke tempat Ulan, dan duduk) Sudahlah Ulan kau tak perlu cemas. Cinta kita tidak bisa terpisahkan. Cinta kita telah kokoh. Tak seorang pun sanggup meruntuhkan cinta kita berdua.
AYAH : (Berjalan dari arah kiri panggung penuh amarah menuju Ulan dan Andung) Ulan...!!!
ULAN : (Kaget dan cemas, Ulan yang sebelumnya berada di sebelah kanan, kini bertukar posisi dengan Andung yang berada di sebelah kiri) Ayah?
AYAH : Beraninya kau! (Tangannya akan menampar Ulan, tapi Andung segera menghadangi tangan Ayah. Sehingga sekarang Andung berada di depan Ulan)
ANDUNG : Cukup Tuan, jangan kau sakiti putri anda. Dia tidak bersalah. Ini adalah salahku, yang ingin bertemu putri Tuan tanpa seijin dari anda.
AYAH : Siapa engkau? (Menatap tajam ke arah mata Andung, lalu memalingkan muka dan membelakangi Ulan dan Andung)Pemuda miskin yang tak jelas asal usulnya. (Kepalanya agak menoleh ke Ulan dan Andung) Berani-beraninya kau menjalin hubungan dengan anakku, yang jelas memiliki kasta dan derajat yang lebih tinggi darimu? Aku tak ingin anakku hanya kau nafkahi dengan kata-kata cintamu. Dia adalah putriku satu-satunya. Tak akan kubiarkan orang sepertimu menikahinya!( Langsung kepalanya menghadap ke belakang dan tangan kirinya menunjuk Ulan)
ANDUNG : (Sedikit melangkah menuju Ayah) Tuan, maafkan jika saya lancang. Saya sadar jika kasta dan derajat antara saya dan Ulan memang berbeda. Ulan berasal dari keluarga bangsawan dan saya hanyalah orang miskin tak berpenghasilan. Namun dari lubuk hati yang paling dalam, saya ingin segera meminang putri anda.
AYAH : Tidak! (Langsung menuju ke Andung dan menamparnya, Ulan langsung menolong dan membantu Andung berdiri) Dimana rasa malumu? Sudah kubilang aku tak sudi kau menikahi putriku. Modal apa yang kau bawa untuk meminangnya? Cinta? Cinta hanyalah sebuah kiasan kuno dalam biduk rumah tangga. Kini apalah arti cinta jika tidak bisa membuat perut menjadi kenyang.
ULAN : Ayah, setidaknya kau beri Andung kesempatan. Aku mohon ayah (Bersimpuh di kaki ayah)
AYAH : (Dengan muka kebencian) Buat apa aku beri dia kesempatan? Seperti tidak ada lelaki lain yang lebih pantas buatmu.
ULAN : Kumohon Ayah... (Dengan muka memelas)
AYAH : Baiklah. Tetapi dengan persyaratan kau harus merantau jauh dari sini, dan pulang dengan membawa hasil. Aku tidak ingin kau pulang hanya dengan tangan kosong. Jika engkau pulang dengan tangan kosong tak sudi aku menerimamu sebagai menantu. Karena orang miskin tidak pernah ada dalam sejarah silsilah keluarga kami.
UNDUNG : Terimakasih tuan (Berusaha mencium tangan Ayah, tetapi dengan sombongnya Ayah menepis tangan Andung dan memalingkan badan ke belakang).(Memegang kedua tangan Ulan) Ulan, mungkin ini telah menjadi jalan kita untuk mencapai kebahagiaan. Aku harus memenuhi persyaratan dari ayahmu. Aku berjanji akan kembali dalam waktu dekat. Aku tidak kau harus menunggu terlalu lama.
ULAN : Kekasihku jaga dirimu baik-baik di sana. Aku akan selalu merindukanmu. Jika ini pertemuan kita yang terakhir kalinya, aku mohon kau akan selalu mengingatku.
ANDUNG : Kenapa kau berkata seperti itu Ulan? Tak perlu kau ucapkan kata-kata itu. Karena aku pasti akan kembali padamu. Ulan aku harus pergi...(Melepaskan tangan Ulan) Jaga dirimu baik-baik.
ULAN : (Saat Andung melangkah beberapa langkah, Ulan memanggilnya dan memeluknya dengan erat) Andung.....!
ANDUNG : (Melepaskan pelukan) Tak perlu kau teteskan air matamu ini (Menghapus air mata di pipi Ulan) Tak lama aku pasti akan kembali sayang. (Pergi keluar panggung sebelah kanan, namun mukanya sesekali masih memandang Ulan)
ULAN : (Menangis tersdu-sedu) Andung....
*Lampu lighting OFF. Persiapan panggung babak ke-2
BABAK 2
NARATOR : Hari demi hari berlalu. Bulan demi bulan silih berganti. Tahun demi tahun terus bergulir. Lima tahun sudah semenjak Andung pergi untuk merantau. Namun hingga kini Ia tak kunjung kembali. Ulan yang begitu merindukannya tak henti-hentinya meneteskan air mata kerinduan. Banyak lamaran pemuda lain yang Ia tolak, demi cintanya kepada Andung, Ulan tak akan pernah menerima pinangan pemuda selain Andung kekasihnya. Rindu berat Ulan, menjadikannya sering sakit-sakitan. Sampai kapan Ulan dapat membayar rindunya tersebut?
*Linghting ON. Set panggung berada di sebuah kamar khas kerajaan.
ULAN : (Menyisir rambutnya yang panjang dan bercerminsambil menangis) Duh Gusti, sampai kapan aku harus merana? Ditinggal kekasih merantau nan jauh di sana. Demi memenuhipersyaratan yang diminta Ayah. Mengapa aku harus mengalami nasib seperti ini? Andung dimana engkau berada sekarang? Kau bilang padaku, jika kau tak akan lama pergi. Tetapi mengapa kini kau tak kunjung kembali padaku? (Menghentikan aktivitasnya menyisir rambut, lalu menuju ke depan panggung) Andung pulanglah! Aku disini menantimu. Aku tak akan pernah berpaling darimu. Kekasihku sampai kapan kau menyiksaku dalam kerinduan yang selalu mengusik hati? Aku seolah pungguk yang merindukan sang rembulan. Yang kehilangan cahayanya. Yang rindu dalam kehangatan sinar bulan. (Lalu Ulan menari diiringi lagu Ulan Andung-Andung)
*Lampu hanya menyoroti Ulan. Setelah Ulan selesai menari, panggung kembali terang.
ULAN : (Lalu selesai menari tiba-tiba Ulan terjatuh dan tak sadarkan diri)
*Ayah dan Ibu masuk ke panggung dari sisi kiri. Mereka kaget melihat Ulan tak sadarkan diri.
IBU : (Berlari menghampiri Ulan)Ulan! Ulan anakku! (Meletakkan kepala Ulan dalam pangkuannya) Kenapa kamu nduk? Sadarlah nduk? Pak Ulan kenapa?
AYAH : Bapak juga tidak tahu Bu.
IBU : Ini semua salah Bapak. Coba saja bapak tidak memberikan persyaratan kepada pemuda miskin itu. Benar kata Ulan, Bapak memiliki hati yang sekeras baja.
AYAH : (Berdiri, membelakangi Ibu dan Ulan. Tepatnya berada di depan kaki Ulan) Kenapa harus Bapak yang Ibu salahkan? Bapak itu hanya melindungi putri Bapak agar terhindar dari kesengsaraan.
IBU : Bapak bilang agar putri kita terhindar dari kesengsaraan? Tapi perlu Bapak ketahui, bahwa persyaratan yang engkau buat merupakan kesengsaraan bagi Ulan. Sekarang lihatlah Ulan, terbujur lemas tak berdaya. Kesalahan apa yang telah Ia perbuat, hingga kau tega menghukumnya dalam jeruji rindu?
AYAH : Kesalahannya adalah mencintai seorang pemuda yang memiliki kasta dan derajat yang jauh di bawah kita.
IBU : Tapi jika mereka saling mencintai, apakah kau tega memisahkan mereka berdua? Engkau mesti mengingat siapa dirimu dahulu, dari mana engkau berasal. Sebelum menikah denganku engkau tak memiliki pekerjaan seperti halnya pemuda itu. Aku dan kau berasal dari derajat dan kasta yang berbeda pula. Namun Ayahku dengan lapang dada melepasku untuk dinikahi seorang pemuda miskin. Beliau hanya ingin melihat putrinya bahagia. Beliau juga tidak memberikan persyaratan yang akan menyengsarakan putrinya. Berbeda denganmu, kau memberikan persyaratan yang menyiksa putrimu sendiri. (langsung mengusap-usap wajah Ulan).
AYAH : Aku memberikan persyaratan agar pemuda miskin itu merantau jauh, sehingga Ia tidak akan kembali lagi kepada Ulan.  Mungkin sekarang Ia telah menikah dengan gadis lain di sana.
IBU : Kau seharusnya malu dengan pemuda itu. Pengorbanannya demi menikahi Ulan sungguh besar. Sedangkan kau Ayah yang tidak memiliki setitik pengorbanan pun terhadap kebahagiaan putrinya.
*Ulan tiba-tiba tersadar namun masih dalam pangkuan Ibunya. Ayah Ulan yang mendengar suaranya langsung menghampirinya dan berada di dekatnya.
ULAN : (Lemas, dan sulit bernafas) Andung, Andung, Andung. Aku sangat merindukannmu. Di mana engkau berada? Andung kembalilah padaku.
IBU : (Menangis) Ulan kau tidak apa-apa nduk? Ulan....
ULAN : (Lemas dan sulit bernafas) Ibu aku sudah tidak sanggup. Jiwaku telah lelah dalam penantian panjang. Ragaku sudah tak kuasa untuk bertahan.
IBU : Tidak nduk, kamu jangan bicara seperti itu. Ibu yakin kekasihmu pasti akan kembali. Ibu yakin itu.
ULAN : (Lemas dan sulit bernafas) Benarkah Ibu? Andung akan kembali?
IBU : Iya nduk, bersabarlah pasti sebentar lagi dia akan kembali padamu. (mengusap-usap rambut Ulan)
ULAN : (Lemas dan sulit bernafas) Ibu, Ayah, Ulan sangat menyayangi kalian. Terimakasih atas semua yang telah kalian berikan pada Ulan. Ibu kau adalah surya yang selalu menyinari hidupku. Sembilan bulan kau mengandungku dan melahirkanku dengan mengorbankan seluruh jiwa ragamu. Tak cukup dengan kata ucapan terimakasih maupun tindakan untuk membayarkan seluruh pengorbananmu. Ayah (Melihat ke ayahnya)maafkan Ulan karena sering menentang kebijakanmu. Aku berharap agar Ayah mau memaafkanku.
AYAH : Iya nduk. Ini bukanlah salahmu. Ini adalah salah Ayah yang telah memisahkanmu dengan pemuda itu.(Memegang kedua tangan Ulan)
ULAN : (Lemas dan sulit bernafas) Ibu sudikah kau menyanyikan lagu tidur sewaktu aku kecil dulu? Aku mohon Ibu.
IBU : (Menangis) Tentu saja. Akan Ibu nyanyikan untukmu. Tak lelo lelo lelo ledung, cup meneng aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane, yen nangis ndak ilang ayune.
ULAN : (Sesak nafas) Ayah...Ibu...Andung... (Perlahan-lahan menutup mata)
IBU : (Panik) Ulan? Ulan? Ulan?
AYAH : Ulan? Sadarlah nduk!
IBU : Nduk Ibu ada di sini, kamu bangun ya? Ulan? Ulan? Ibu di sini nduk. Ulan...(Berteriak keras, dan memeluk Ulan)
AYAH : (Merangkul atau mendekap Ibu, dan menangis) Sudah Bu! Sudah!
IBU : (Menepis rangkulan Ayah) Tidak! Anakku tidak mungkin mati! Ulan bangunlah sayang. Ibu mohon?
AYAH : (Kembali merangkul atau mendekap Ibu) Sudah Bu!
IBU : (Kembali melepaskan rangkulan Ayah) Ini semua karenamu! Kau yang telah memisahkanku dengan anakku satu-satunya. Ulan bangunlah nak! Ulan bangun! Ulan... (menangis)
AYAH : (Merangkul atau mendekap Ibu yang sedang menangis) Maafkan Bapak Bu. Bapak menyesal atas keegoisan Bapak.
IBU : Ulan, bangunlah nduk! (Menangis dan memluk erat Ulan)
*Perlahan-lahan lighting OFF. Persiapan babak 3.
BABAK 3
*Instrumet musik dimulai.
NARATOR : Inilah akhir dari semua penantian Ulan. Kematian seakan merenggut harapannya untuk bersama Andung. Jiwanya telah lelah menunggu. Raganya sudah tak kuasa lagi untuk bertahan. Sang kekasih yang dipuja-pujanya tak kunjung kembali dari perantauannya. Suasana duka seakan menyelimuti langit, menghalangi surya untuk berpendar. Deru tangis ikut menghantarkan jiwa Ulan menuju alam keabadian.
*Lighting ON. Set panggung : altar (panggung kecil) untuk tempat tidur Ulan. Pemain telah bersiap di panggung  (Ulan menggunakan baju serba putih dan ditutupi kain putih, Ibu, Ayah, dan beberapa figuran menggunakan baju serba hitam).
IBU : (Kepalanya bersandar di pundak Ayah, dan menangis) Pak putri kita telah tiada. Mengapa Ia cepat sekali meninggalkan kita semua? Rasanya baru kemarin aku melahirkannya, sekarang Ia telah kembali kepada Tuhan.
AYAH : Ini semua salah Bapak Bu. Coba saja aku tidak mementingkan ego dan pencitraan yang telah aku bangun. Mungkin sekarang Ulan tidak akan seperti ini.
IBU : Penyesalan selalu berada di akhir. Kini Bapak merasakan sendiri bagaimana akibatnya. Putri kita satu-satunya harus menanggung semua perbuatan Bapak.
*Tiba-tiba Andung dari panggung sebelah kanan.
ANDUNG : (Berteriak keras) Ulan? (Berjalan pelan-pelan menuju altar Ulan) Ulan? (Membuka kain penutup)Tidak! Ini tidak mungkin (Lalu berteriak keras : AAAAAA....). Ulan mengapa engkau pergi secepat ini? Aku telah kembali. Tetapi, mengapa engkau menyambutku dalam balutan duka? Kau seakan memberiku pukulan keras. Aku merasa bersalah karena pergi meninggalkanmu terlalu lama. Ulan benar apa katamu, hari itu adalah pertemuan terakhir kita. Gusti... Apa salah hamba hingga kau menghukumku begitu berat? Aku ingin dia kembali lagi padaku. Ulan bangunlah sayang, bangun!
*Lalu tiba-tiba Ulan bangkit dari altarnya. Ayah, Ibu dan figuran mematung. Hanya Andung dan Ulan yang berdialog.
ULAN : Andung, Andung, Andung kekasihku.(Berdiri dan berjaalan menuju depan panggung) Sekian lama aku menantimu, akhirnya kau kembali. Bertahun-tahun aku menunggu hari ini. Tahukah engkau, bahwa diriku sungguh merindukanmu. Diriku laksana pungguk merindukan rembulan. Yang setiap malam menangis merindukan sang kekasih.
ANDUNG : (Beridiri dan berjalan ke depan altar, namun berada dibelakang Ulan)Maafkan aku Ulan. Aku juga sangat merindukanmu. Malam-malamku kuhabiskan untuk memandangi rembulan. Membayangkan wajahmu nan elok dalam rindu yang terus melanda.
ULAN : (Kepalanya agak menoleh ke Andung) Tapi Andung sekarang bukanlah tembok restu, kasta maupun derajat yang menjadi sekat pemisah cinta kita berdua. Melainkan dunia kita yang telah berbeda. Kau hidup dengan kesenangan duniawi. Sedangkan aku hidup dalam ketenangan jiwa. Raga kita pun tidak akan pernah menyatu. Walaupun begitu cinta kita tak pernah terpisahkan hingga akhir zaman. Karena cinta kita adalah satu.
ANDUNG : (Melangkah beberapa langkah mendekati Ulan) Ulan apakah kau benar-benar akan meninggalkanku? Tidakkah engkau kasihan padaku? Sekian lama kita merajut hubungan asmara, namun mengapa hubungan ini tidak berakhir dengan bahagia? Penderitaan ini adalah yang paling kejam dibandingkan restu yang tak diberikan Ayahmu.
ULAN : Ini bukanlah keinginanku. Ini adalah takdir yang telah dituliskan oleh Tuhan. Aku ingin hidup bahagia denganmu. Tapi takdir berkata lain, bahtera pernikahan hanyalah sebatas angan di pelupuk mata.
ANDUNG : (Memeluk Ulan dari belakang) Ulan kembalilah padaku. Aku mohon Ulan.
ULAN : (Melepaskan pelukan Andung) Tidak Andung! Aku tidak bisa mematahkan Kuasa Tuhan. Kini saatnya aku harus pergi meninggalkan dunia yang fana ini.
*Instrument musik dimulai.
ANDUNG : Tidak Ulan aku mohon (Memegang tangan Ulan, namun tangan Ulan terlepas perlahan-lahan).Ulan! Aku mohon Ulan.
*Ulan melangkah pelan-pelan keluar panggung. Lampu lighting hanya menyoroti Andung.
ANDUNG : Ulan kini kau telah pergi untuk selamanya. Lalu dengan siapa aku akan hidup? Kau adalah nafasku. Kau adalah jiwaku. Bagaimana aku bisa hidup tanpamu? Kembalilah Ulan! Kembalilah!(Berteriak)

#SELESAI#

Senin, 20 April 2015

PENGUMUMAN LOMBA RENOVIESTA 2015

PENGUMUMAN LOMBA MENULIS NASKAH DRAMA DAN PUISi RENOVIESTA 2015


       Penilaian didasarkan pada kesesuain dengan tema yang dipilih, sekaligus kesegaran sudut pandang untuk mendekati tema tersebut. Kaitannya dengan struktur penyajian, penilaian dititikberatkan pada kekuatan unsur intrinsik teks untuk mengkontruksi estetika dalam teks, dan bagaimana bentuk yang ditawarkan membentuk keutuhan gagasan dan menghadirkan konteks, sekaligus kontruksi wacana yang dihadirkan.
Untuk puisi, unsur intrinsik dipertimbangkan pada aspek bunyi, diksi, metafora, citra, imaji,enjambemen, dan tipografi teks. Sedangkan untuk drama, unsur intrinsiknya dipertimbangkan pada aspek tokoh dan penokohan, dialog, setting, latar ruang, latar waktu, alur drtamatik, plot, keberadaan prolog, epilog, teks samping, dan sekaligus potensi naskah drama tersebut untuk dipanggungkan.
Mengacu pada pertimbangan tersebut maka tim juri memutuskan bahwa juara untuk lomba penulisan puisi dan drama sebagai berikut:

Puisi
1. Sepertiga Purnama (Teguh Nur Iman)
2. Sajak Gagak (Muhammad Aji Wiyuda)
3. Bahadur (Rizqotus Sholehah)

Drama
1. Ulan Merindu (Hanif Artafani Biasmara)
2. Panji Laras dan Panji Liris (Risca Oktafiana)
3. Tanpa Judul (Ricky Gusnia D)

Keputusan dewan juri bersifat mengikat dan tidak bisa diganggu gugat.

Rabu, 15 April 2015

pengumuman lomba menulis naskah drama dan puisi renoviesta 2015

~~~PENGUMUMAN LOMBA MENULIS NASKAH DRAMA DAN PUISI RENOVIESTA 2015~~~

  Sehubungan dg adanya beberapa pertimbangan dari panitia lomba menulis naskah drama dan puisi renoviesta, maka pengumuman pemenang diundur hingga tanggal 21April 2015, kami mengucapkan terimakasih atas partisipasi semua peserta lomba menulis naskah drama dan puisi, Selamat malam dan salam budaya ^_^